Ada keributan. Di kamar sebelah. Karena suara seksi Elvis Presley.
Di dalam ruangan satunya lagi. Agak pengap. Tampaknya ruangan itu baru
disemprot aerosol untuk mengusir nyamuk. Hari ini hampir genap
pertengahan tahun 1962. Dua tahun yang lalu, aerosol adalah penemuan
umat manusia yang cukup menggemparkan. Membuat dia benda yang sedikit
nge-pop.
Membuka pintu. Dari luar. Sebuah sosok yang mungkin kodifikasi dari
sedikit bayangan gambar para malaikat berambut pirang di jendela gereja
dan unsure mahluk local dunia, manusia. Seorang wanita tepatnya.
Perlahan wanita pirang itu mulai membuka baju hangatnya. Kemudian
Stocking marun. Tampaknya longdress-nya yang setengah terbuka sampai
paha. Mengambil sigaret. Mengepulkan asap perdana.
Agak termenung selama kurang dari satu menit.
Karena merasa ada yang janggal di ruangan itu. Sebuah suara nafas. Dari kolong tempat tidur.
“Haloo?........” Marilyn.
“Hmm, kamu keluar saja dari situ..” Marilyn suaranya agak keras.
Akhirnya sesosok tubuh kisut keluar dari situ. Karena selama tiga hari
tiga malam, dia cuma makan dari remahan biskuit sisa makan pagi hotel.
Berdiri. Merenggangkan otot. Mengupas-ngupas baju yang dekil.
Batuk-batuk. Agak gugup.
“Kamu siapa?” Marilyn bertanya. Dengan mata sendunya yang tajam. Tampaknya dia sudah biasa dikuntit orang.
“Euh, saya John. John dari Krakow” John agak tergugup. Menyebut sebuah
nama kota di Polandia. Negara komunis yang lusuh saat ini. Serupa dengan
orangnya.
“Saya datang dari negeri yang jauh. Saya…” Lanjutnya.
“Awkay, kamerad John. Atau siapapun kamu….” Marilyn memotong.
“Mengapa kamu bisa tiba sampai disitu?” Marilyn sambil mendekapkan kedua
tangannya di depan dada. Menelisik John dari kaki sampai ujung topi.
Sambil mengepulkan lagi asap sigaret.
“Aku cuma ingin mengobrol denganmu. Itu saja.”
“Oke, silakan ngomong………..” Marilyn membiarkan John detik itu menjadi pria paling bodoh sedunia.
“Hmm. John, Namamu itu sama dengan nama depan My dear Keanny” Pungkas Marilyn.
“My dear Keanny? Siapa itu?” John bertanya.
“Ah, kamu juga nanti tahu. Dia sering muncul di televise..” Marilyn sambil membalikan badan.
“Oh, oke, hmm..saya merasa terhormat bisa ngobrol disini…” John malu-malu.
“Terus, kalau cuma mau ngobrol-ngobrol, kenapa harus sembunyi di kolong tempat tidur segala?” Marilyn. Ketus.
“Karena kamu seorang Marilyn Monroe. Dan saya cuma seorang pencari suaka
dari negeri Eropa “coret”. Saya disini demi Elvis. Demi musik Blues.
Dan demi anda….” John masih dengan tergugup. Tapi agak tersenyum.
Menggigit jari.
Marilyn ikut tersenyum. Terlihat deretan giginya yang agak berantakan.
“Simbol kapitalis yang menyenangkan” Sahut John. Dalam hati.
Marilyn mengambil sloki dari laci. Kemudian menuangkan Classic
Chauvignon tahun `32 dari lemari. Astaga! Ketika mengangkat tangan untuk
mengambil wine itu. terlihat punggungnya yang putih. Berkilau karena
pantulan dari lampu di sebelah. Seputih marmer. Agak berlebihan memang,
seperti kalimat iklan saja. tapi minimal itulah padanan kata yang
sanggup keluar pada detik itu.
Dia mulai menyalakan piringan hitam.
“All Through The Night ” dari Ella Fitzgerald. Halah.
“Fitzgerald ya? Hmm, dia setara dengan Kahlo. Kamu tahu Kahlo? Temannya
Leon Trotsky? Frida Kahlo?” John mulai menunjukan antusias.
“Tidak, tidak. Aku bukan orang terpelajar, hmm, tapi buatkan aku satu puisi saja..” Pinta Marilyn.
John sibuk berpikir. Ia melihat wajah Marilyn. Berusaha menangkap
kata-kata yang sepadan dengan metafora organ-organ yang terpajang di
kulit wajah.
“Oke..” John. Sambil menahan nafas. Kemudian terdengar suara.
Puisi Pop Polandia a.k.a triple P
(karya John dari Krakow tentunya..)
Marshmallow. Aku datang dari Krakow.
Cucumber. Aku sambar
Venotti. Masih sendiri.
Blueberry. Agak basi.
Vanilla. Karena Cinta itu tidak berskala.
Aku Mae west. Kamu Jean Harlow.
Kita beres-beres. Aku malah galau.
Aku suka Elvis. Kamu suka Sinatra.
Kamu pipis. Aku gugup menghafal mantra.
Abrakadabra! Biarkan cinta kita bermain…
Maukah Marilyn?
….
Ahm. Hehe. Marilyn hanya menahan tawa. Tampak bening. Namun dia membuat
John tampak seperti badut di karnaval. Setidaknya dengan tidak memakai
mascara atau sepatu boot panjang. Mirip logo gerai makanan cepat saji
saja.
“Bagus sekali.” Marilyn dengan wajahnya yang berbinar.
“Oh ya? Terima kasih” John merasa senang juga.
“Chauve?” Marilyn masih mencoba menawarkan sesloki wine itu.
“Terima kasih, lambung saya hanya sanggup buat Ice Vodka dari Warsawa”
Kemudian Marilyn mulai bercerita tentang kota kelahirannya, Los angeles,
1926. Norma Jean Baker. Betapa dia merindukan dipanggil dengan nama
itu. Betapa dia merindukan Gladys, Ibunya. Dan dia akan berniat mati
malam ini.
“Mati?” John agak terperanjat. Bukan alang kepalang
“Iya, ide yang bagus bukan?” Marilyn hanya tersenyum. Manis.
“Ngomong-ngomong kemarin aku baru dapat surat cinta dari Castro. Ahaha.”
“Dia mencoba membuat My dear Johnny Kennedy cemburu. Hehe.”
“Politik itu tidak sebenarnya cuma pesta pora.” Lanjut Marilyn.
“Aku justru memanfaatkan mereka”
“Demi sebuah pencapaian kata kesempurnaan”
“Atau nafsu? Dan eksploitasi tentunya. Ahaha.” Marilyn terbahak. Menertawakan diri sendiri.
“Eksploitasi? Di negeri saya, kata eksploitasi cuma buat tambang batubara. Atau tambang tembaga. Atau …” John menyela.
“Hmm. John, aku adalah tambang juga buat mereka. Dari olahragawan sampai
kaum edukasiwan.” Marilyn tidak kalah menyela cuma agak menerawang.
“Joe DiMaggio? Arthur Miller? Ah, mereka cuma menafsuiku saja.” Marilyn. Sambil menyebut nama mantan-mantan suaminya terdahulu.
“Begini John. Aku tidak ingin dikenang sebagai nenek peot yang dulunya
adalah simbol seks bukan? Aku sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata
mereka. Bagiku hanya film yang terasa nyata. Aku bisa membuat diriku
keluar sebebas mungkin.”
Marilyn jeda sejenak. Sambil meminum satu tegukan.
“Sedangkan aku yang sedang berdiri didepanmu ini cuma berpura-pura.
Mereka hanya ingin melihat gadis pirang yang roknya tersingkap sedikit
tertiup angin. Mungkin sambil masturbasi. Just like a Marilyn Monroe,
big ass, big breast, big deal…”
“Mati adalah jalan terbaik. Setiap orang bernasib mati pada akhirnya.” Marilyn.
“Sebab kamu tidak bisa menghindar dari nasib. John, kematian itu adalah sesungguhnya dunia yang nyata.”
“Aku mati. Karena aku tidak ingin dikenal sebagai pesolek. Hal yang
sangat mereka inginkan, my dear baby...” Marilyn dengan logat yang
dimanja-manja.
“Dengan mati, minimal aku tidak perlu bersedih karena tangisan orang yang memang sangat kehilangan aku.”
“Maukah kamu membantuku?” Marilyn setengah mengiba.
“Tidak…” John setengah bergumam. Sambil menghadap cermin. Berusaha untuk tidak menatap Marilyn secara langsung.
“Sebab kalau kamu mati, saya akan menangis…” John agak tertunduk.
“Itu bukan sesuatu yang adil…” John masih menggumam.
Marilyn agak termenung. Seandainya si John ini datang lebih awal lima tahun. Mungkin situasinya tidak akan begini. Dalam hati.
“Tapi setidaknya kamu akan melihat wajahku tersenyum selamanya.” Marilyn mencoba menghibur.
“Aku berjanji. Kalau nanti malaikat datang. Aku akan berusaha tersenyum.
Seberapapun sakitnya.” Menit itu Marilyn terlihat sangat naif.
Berpikir keras. Terbawa perasaan. Melihat jam.
“Sudah waktunya, ……..John Krakow.”
Karena sejarah akan mencatat pada jam sekian, tanggal sekian, tahun
sekian sang bintang meninggal dunia. Atau tewas. Kita harus menentukan
pilihan. Waktu yang paling baik.
Tanpa pikir panjang lagi. Marilyn menenggak segenggam pil tidur. Rupanya
dia sudah menyiapkan benda-benda bulat itu dalam genggamannya. John
hanya tercekat.
“Norma Jean!............” John memanggil Marilyn dengan nama kecilnya.
Yang dipanggil hanya menoleh sedikit. Beberapa menit kemudian. Sambil
rebahan di ranjang. Aktris itu agak batuk-batuk. John ikut terduduk
disampingnya. Berkeringat. Mendekap bantal bergambar Mickey Mouse.
Beberapa menit kemudian. Agak mengeluarkan suara erangan. Berusaha
mengucapkan sebuah kalimat.
“……Kamu lihat cahaya John?” Sahut Marilyn.
John dari Krakow tidak menyahut. Perasaan dia sudah tidak karuan.
“John?.....” Marilyn sayup-sayup memanggil.
“Oke, ehm, Sekarang aku akan ceritakan sedikit rahasia…” Agak kepayahan.
“A-apa?” John setengah gelisah.
“Tapi ini rahasia ya?” Marilyn meminta John.
John hanya mengangguk.
“Coba dekatkan telingamu…”
Demi Marilyn. John mendekatkan kepalanya kearah wajahnya yang sedang sekarat.
“Eugh.., a-aku cinta kamu John. Tiga puluh menit yang lalu aku jatuh cinta padamu. John dari Krakow,…”
“….atau siapapun kamu”
Ada sedikit suara menggeram. Dan sesenggukan.
Akhirnya Marilyn tersenyum. Selamanya.
Sangat indah. Berdua di sabtu malam. Saling mencintai. Walaupun salah
satunya mati. Marilyn. Wanita dengan kecantikan sangat bening yang
menjadikannya sebagai objek cinta jutaan pria kesepian dan yang tidak
terpuaskan itu tidak memiliki kencan pada malam ini. Pernak-pernik
narasi selebritas. Bukan kesialan atau malapetaka bintang tenar.
Dia bukan seorang Elizabeth Taylor. Tidak pula seanggun Faye Dunaway.
Dia hanya seorang Marilyn. Seorang anak haram yang terpental dari satu
rumah ke rumah yang lain. Dia adalah monument hidup tentang sesumbar
Amerika itu dalam pencapaian hidup.
Teringat sesuatu. John segera berkemas. Meninggalkan kamar hotel. Lewat jendela.
Begitulah. John dari Krakow sebenarnya adalah orang yang membantu
Marilyn menggapai ketenaran abadi. Orang yang pernah sangat berarti di
30 menit menjelang Marilyn mati. Tapi tidak pernah dipublikasikan media.
Media? Ah, memangnya media sekarang milik siapa. Yang jelas, telah
terjadi peristiwa Everlasting stardust. Apapun istilahnya. Sebuah
fenomena alam semesta yang menakjubkan. Kematian bintang. Namun tetap
berkilauan selamanya.
---
Besoknya ada surat. Mampir di kantor Century 20th Fox.
“Dear Marilyn……….”
Kemarin adalah hari yang paling bahagia. saya jadi tahu mengapa kamu
begitu indah. Terlalu indah untuk dicintai. Walaupun agak terdengar
gombal. Tapi minimal saya tidak mendapat uang sepeserpun dari hasil
menjadi stalkermu yang paling setia.
Dari orang yang selalu menjadi “Marilyn Mabukism”.
PS : saya namakan marilyn mabukism karena situasional.
- John -
Surat itu hanya jadi salah satu dari sekian banyak remahan kertas yang teronggok di lantai begitu saja.
Dunia berkabung. Tapi hanya beberapa yang sangat bersedih. Dengan tulus.
Wednesday, April 27, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment